Pakar Hukum Eksaminasi Perkara Korupsi Eks Bupati Tanah Bambu, Mardani Maming Melalui Bedah Buku

oleh

Penulis: Castro | Editor: Senja

MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Sejumlah pakar hukum melakukan eksaminasi terhadap perkara korupsi yang menjerat eks Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming yang dituangkan ke dalam sebuah buku bertajuk “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H. Maming”.

Buku tersebut diterbitkan oleh CLDS Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) yang bekerjasama dengan PT. Raja Grafindo, penerbit buku Rajawali.

Bedah buku hasil eksaminasi terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 Atas Nama Terdakwa Mardani H. Maming.

Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, mengatakan perbuatan Mardani yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN tidak melanggar aturan.

“Dalam Pasal 93 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP. Bukan pada jabatan Bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan,” kata Mahrus Ali, Minggu (06/10/2024).

Sejumlah pakar hukum lainnya juga menilai terpidana Mardani Maming, tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum.

Putusan majelis hakim tingkat pertama, banding, dan kasasi dinilai dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja.

Pasalnya tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis bukti yang tersampaikan dimuka persidangan.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menyampaikan bahwa kasus dugaan tidak pidana korupsi yang didakwakan terhadap Mardani Maming memiliki sejumlah kekeliruan.

Bahkan ada delapan kekeliruan yang dia catat, satu diantaranya terkait dengan moral.

“Sejak awal kasus Mardani Maming ini seharusnya tidak diproses, karena fakta-fakta hukum yang kabur dan tidak jelas untuk dibuktikan. Ada banyak siasat dari penegak hukum untuk terus melanjutkan proses kasus ini. Termasuk dengan penggunaan pasal-pasal yang tak sepenuhnya sesuai konteksnya,” ucap Romli.

Lebih lanjut Romli katakan, karena susahnya pembuktian, maka penyidik menggunakan Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Romli menuturkan, seharusnya kasus ini dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Tapi nyatanya KPK tidak melakukan hal itu dan justru dipaksakan.

“Seharusnya begitu lihat pembuktiannya susah, ya hentikan. Ini kan enggak, karena KPK alasannya enggak boleh SP3, ya harusnya dilimpahkan ke Kejaksaan kalau mau seperti itu. Tapi tidak dilakukan,” ujarnya.

Romli menjelaskan bahwa aparat hukum yang menangani kasus mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI itu sama-sama keliru.

“Bukan tidak mungkin kasus ini kental dengan nuansa politik. Sehingga memang seolah-olah dibuat hukum itu memang berlaku dan ada,” tuturnya.

Selain itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso, menyebut bahwa eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum itu sesuatu yang penting untuk dilakukan.

Apalagi kata dia, putusan hakim tidak terlepas dari kekeliruan. Kekritisan yang sampaikan itu hendaknya kemudian menjadi perhatian bagi para penegak hukum. Tidak terkecuali para hakim di dalam peradilan.

“Sama seperti alasan kasasi misalnya, yaitu penerapan hukum yang keliru. Itu mungkin saja. Makanya kekritisan sebagai bentuk upaya untuk mengeksaminasi atau memberikan catatan kritis yany harus diterima oleh kalangan peradilan,” imbuhnya.

Ada sembilan poin kesimpulan dari hasil bedah buku tersebut terkait perkara terpidana Mardani Maming:

1. Terpidana Mardani Maming tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum. Putusan majelis hakim tingkat pertama, banding dan kasasi dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis evidence/bukti yang tersampaikan dimuka persidangan.

2. Dakwaan/tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup bahwa terdakwa Mardani H Maming secara nyata penerimaan-penerimaan uang yang disangkakan kepada Terpidana ternyata adalah tagihan-tagihan perusahaan yang didsari atas perjanjian kerja sama sebagaimana putusan pengadilan niaga yang telah inkracht.

3. Dakwaan yang dibangun adalah pasal suap, namun si pemberi suap tidak pernah diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan. Karena tidak dapat dibuktikan meeting of mind (kesepakataan pembicaraan) antara pemberi suap almarhum Hendry Setio kepada dan terpidana Mardani H. Maming yang disangkakan kepada terpidana maka kemudian penuntut umum menyatakan adanya “kesepakatan diam-diam” yang secara hukum tidak dikenal dalam ilmu hukum pidana.

4. Pasal 93 undang-undang pertambangan adresat larangan untuk mengalihkan itu adalah untuk pemilik IUP OP bukan pada pejabat, SK pelimpahan IUP OP yang ditandatangani oleh terpidana sebagai Bupati Tanah Bumbu adalah sesuai kewenangannya dan IUP OP tersebut sudah terlisensi clear and clean dengan kata lain IUP OP itu tidak memiliki masalah hukum dan sudah memenuhi syarat administrasi.

5. Dapat dikemukakan bahwa, penuntut menghadapi kesulitan secara teknis hukum pembuktian bahwa telah terjadi pemberian hadiah kepada terdakwa karena terdakwa telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya.

6. Terdakwa dalam jabatan bupati, atas delegasi wewenang dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan mengeluarkan izin dalam hal permohonan IUP, dan tentu izin diberikan disebabkan adanya permohonan dari pemohon dan juga telah dilaporkan kepada menteri dalam urusan pertambangan. Suatu kewajiban yang lazim dilakukan dalam sistem birokrasi.

7. Sekalipun quod non telah terbukkti terdapat pelanggaran atas undang-undang sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan, akan tetapi keduabelas peraturan perundang-undangan tersebut, adalah termasuk rumpun hukum pidana administratif sehingga tidak tepat secara hukum penerapan undang-undang Tipikor terhadap pelanggaran administratif karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Tipikor.

8. Poin 7 di atas diperkuat dengan penafsiran ketentuan Pasal 14 Undang-undang Tipikor, baik penafsiran historis, sistematis-logis maupun penafsiran telelologis, ketentuan Pasal 14 Undang-undang Tipikor, bertujuan membatasi penafsiran hukum yang sangat luas di dalam penerapan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor.

9. Putusan kasasi dalam perkara tipikor atas nama Mardani Maming secara kasat mata telah mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan telah memenuhi alasan peninjauan kembali yaitu adanya keadaan baru yang diketahui akan tetapi tidak pernah disampaikan dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Kasasi.

Sehingga putusan kasasi seharusnya menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya hukuman terdakwa dikurangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *