Opini: Febrianus Felis
MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Gerakan mahasiswa adalah simbol nurani publik ia harus menjadi kekuatan moral yang tidak hanya berani, tetapi juga cerdas dan bertanggung jawab.
Namun, gerakan mahasiswa di Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) yang menuntut pencopotan Kapolres, bahkan sebelum ada kepastian hukum atau bukti valid atas keterlibatan pimpinan Polres dalam jaringan Narkoba Internasional yang diduga dilakoni Kasat Reskoba Polres Nunukan Iptu SDH dan bawahannya mencerminkan sikap yang tergesa, emosional, dan kehilangan arah moral perjuangan.
Di Mana Akal Sehat Mahasiswa?
Tuntutan pencopotan Kapolres Nunukan sebelum ada penetapan tersangka adalah tindakan yang mengabaikan asas praduga tak bersalah, sebuah prinsip fundamental dalam hukum dan demokrasi.
Apakah hanya karena isu ini sedang viral, lalu gerakan mahasiswa menyeret nama Kapolres untuk dijadikan korban opini? Apakah gerakan ini mau ikut-ikutan membangun tekanan publik tanpa dasar hukum?
Jika mahasiswa hari ini menyerukan keadilan, kenapa mahasiswa sendiri melanggar asas praduga tak bersalah?
Gerakan mahasiswa selalu bilang “lawan penindasan”, tapi justru jadi penindas kebenaran, penindas proses hukum yang belum selesai.
Alih-alih menjunjung tinggi keadilan, tuntutan ini terkesan menabrak etika hukum, memperkeruh suasana, dan berisiko merusak kredibilitas gerakan mahasiswa itu sendiri.
Jika mahasiswa yang konon mewakili akal sehat publik turut membakar opini publik berdasarkan asumsi dan desas-desus, maka mereka tidak beda dari pengadilan jalanan yang menghakimi tanpa proses.
Apakah ini wajah baru dari mahasiswa kritis? Atau hanya massa yang ingin terlihat heroik di tengah isu besar?
Apakah Mahasiswa Sedang Digunakan?
Apakah gerakan ini murni suara nurani? Ataukah ada kekuatan tak terlihat yang sedang mengarahkan gerakan mahasiswa ke sasaran yang keliru?
Kenapa fokus gerakan mahasiswa tidak menuntut transparansi proses penyidikan? Kenapa bukan mendesak Mabes Polri segera menuntaskan kasusnya secara terbuka?
Saat institusi sedang berupaya membuka benang kusut jaringan Narkoba Iternasional, mengapa justru mahasiswa malah menekan institusi yang sedang menyelidiki?
Apakah ada upaya untuk mengintervensi proses hukum atau bahkan membelokkan fokus penyidikan?
Bukankah lebih bijak jika mahasiswa mendesak transparansi proses hukum, bukan mendorong pencopotan pimpinan yang belum terbukti salah?
Kecurigaan ini masuk akal, mengingat rentannya isu ini digunakan sebagai panggung oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik lokal atau citra.
Menjaga Integritas Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa adalah penjaga akal sehat demokrasi. Tapi ketika kritik lahir dari emosi, bukan dari analisa dan data, maka gerakan itu berubah menjadi kerumunan reaktif, bukan gerakan moral.
Gerakan semacam ini bukan hanya keliru sasaran, tapi juga menurunkan martabat intelektual kampus itu sendiri.
Jika mahasiswa ingin menjadi bagian dari perubahan, mereka harus berada di garis depan memperjuangkan keadilan, bukan memaksa kejatuhan seseorang yang belum terbukti bersalah.
Keadilan tidak bisa ditegakkan dengan cara-cara yang melanggar prinsip keadilan itu sendiri.
Kita tentu menentang segala bentuk kejahatan Narkotika, dan kita harus mendukung upaya pembongkaran jaringan Narkoba dari akar sampai pucuknya.
Tapi gerakan mahasiswa harus menjadi mitra moral dalam pencarian kebenaran, bukan menjadi hakim dadakan yang menuntut kepala tanpa bukti.
Mahasiswa harus kembali ke jalur intelektual. Kritik itu penting. Tapi kritik tanpa dasar adalah retorika kosong yang lebih membahayakan daripada membebaskan.
Kata Plato begini”Ketika kemarahan menggantikan akal, maka keadilan akan dibunuh oleh semangat yang buta.”