Oleh: Firmanio dan Jefri Lamadike
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara
MATAKALTARA.COM – Rencana pemerintah pusat untuk membentuk Sekolah Rakyat menuai penolakan dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara).
Dalam pernyataan sikapnya, LMND menilai inisiatif tersebut tidak menjawab akar persoalan pendidikan di Indonesia, khususnya di wilayah perbatasan dan tertinggal seperti Nunukan.
Alih-alih menjadi solusi, Sekolah Rakyat dianggap sebagai bentuk pengaburan tanggung jawab negara dalam membangun sistem pendidikan yang adil, berkualitas, dan merata.
Ketua EK LMND Nunukan, Firmanio secara tegas menyebut bahwa gagasan Sekolah Rakyat hanya akan memperparah ketimpangan sosial.
Sekolah Rakyat bukan untuk memotong angka putus sekolah bagi kaum miskin, tetapi justru menciptakan kasta baru dalam dunia pendidikan. Ini penghinaan terhadap hak pendidikan yang setara bagi semua anak bangsa.
Kritik ini bukan tanpa alasan, Firmanio menyoroti bahwa sistem pendidikan Indonesia masih belum memiliki bentuk permanen dan stabil.
Perubahan kebijakan pendidikan yang sering kali mengikuti pergantian rezim justru memperlihatkan inkonsistensi dalam membangun masa depan pendidikan bangsa.
Guru dan murid menjadi korban dari eksperimen kebijakan yang tidak berbasis pada kebutuhan nyata di lapangan.
Dia menekankan bahwa upaya membangun Sekolah Rakyat seharusnya tidak menjadi prioritas ketika masih banyak sekolah formal di berbagai daerah Indonesia, termasuk Nunukan, yang tidak memiliki sarana dan prasarana memadai.
Di beberapa wilayah seperti Krayan, Kabudaya, dan Pulau Sebatik, kualitas pendidikan masih tertinggal jauh.
Bangunan sekolah rusak, fasilitas minim, dan kekurangan tenaga pendidik menjadi persoalan yang ironi dan belum diselesaikan secara tuntas.
Menurutnya, Sekolah Rakyat bukan solusi, justru menambah beban terhadap negara.
Dalam konteks ini, Jefri Lamadike dari Departemen Pengembangan Organisasi LMND Nunukan juga menyatakan kekhawatiran bahwa proyek Sekolah Rakyat hanyalah jalan lain untuk membuka peluang korupsi.
Jefri mempertanyakan apakah kebijakan mendirikan Sekolah Rakyat hanya kedok agar ada anggaran besar untuk dibagi-bagi dalam bentuk proyek bagi para pendukung? Mengapa bukan sekolah yang sudah ada yang diperbaiki terlebih dahulu?.
Dia juga menyoroti persoalan kesejahteraan guru, terutama di daerah tertinggal. Upah yang minim, kurangnya tunjangan, serta tidak adanya jaminan tempat tinggal yang layak membuat banyak tenaga pendidik enggan mengabdi di daerah pelosok.
Situasi ini memperparah ketimpangan dalam proses belajar mengajar dan berpotensi menghambat perkembangan generasi muda di wilayah tersebut.
Dengan dasar pertimbangan tersebut, LMND Nunukan secara terbuka menolak rencana pendirian Sekolah Rakyat.
Mereka menyerukan kepada Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk kembali fokus pada pembenahan menyeluruh sistem pendidikan nasional.
Prioritas seharusnya diberikan pada peningkatan kualitas pendidikan dasar, pembangunan infrastruktur, serta pemberdayaan tenaga pengajar di seluruh pelosok negeri.
Jangan berdalih membangun Sekolah Rakyat yang adil dan merata, sementara 80 tahun kemerdekaan bangsa ini masih menyisakan begitu banyak PR (pekerjaan rumah) dalam dunia pendidikan. Pendidikan harus gratis, ilmiah, demokratis, dan mampu diakses semua anak bangsa tanpa diskriminasi kelas.