Opini: Febrianus Felis
MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Negara ini kadang terlalu sibuk mengurus pusat kekuasaan, tapi lupa bahwa batas republik justru ada di pinggir.
Penangkapan kapal pemasok ikan dari Tawau, Malaysia di Kabupaten Nunukan oleh Ditreskrimsus Polda Kalimantan Utara (Kaltara) hanyalah potret kecil.
Hukum yang gagah di atas kertas, tapi kehilangan akal sehat ketika bersentuhan dengan kebutuhan rakyat.
Apa arti kearifan lokal? Itu bukan sekadar jargon antropologis. Ia adalah bukti bahwa masyarakat perbatasan lebih dulu mengerti bagaimana bertahan hidup sebelum negara lahir di sana.
Jadi ketika aparat datang dengan aturan yang kaku, rakyat bingung, siapa sebenarnya yang harus mereka patuhi, negara yang absen, atau tradisi yang nyata memberi makan?
Bupati Nunukan menyebut kearifan lokal sebagai kebijakan darurat. DPRD berteriak di forum rapat dengar pendapat. Dinas Kelautan Provinsi Kaltara sibuk berdalih sudah memberikan yang terbaik. Sementara itu Gubernur? Entah di mana suara tegasnya.
Semua bicara, tapi tidak ada yang benar-benar mengambil risiko untuk memperjuangkan legalitas yang berpihak pada rakyat.
Padahal, persoalan ini sederhana. Kalau pemerintah pusat hari ini bisa membuka “karpet merah” bagi investor tambang, kenapa sulit sekali memberi “karpet lusuh” untuk nelayan perbatasan? Inilah yang saya sebut ironi, rakyat dipaksa tunduk pada hukum yang tidak pernah mereka rasakan manfaatnya.
Seorang Filsuf Yunani, Aristoteles, pernah bilang bahwa politik itu soal “the good life”, kehidupan yang baik bagi warganya. Tapi di Nunukan, politik justru menjauhkan rakyat dari hidup yang layak.
Mereka dipaksa membeli ikan mahal karena negara gagal menjembatani kearifan lokal dengan regulasi modern. Jadi, mari kita uji akal sehat kita, apa gunanya Gubernur Kaltara kalau sekadar menjadi penerus birokrasi pusat tanpa keberanian melawan demi rakyatnya? Apa gunanya DPRD kalau rapat-rapatnya hanya melahirkan dokumen, bukan solusi? Apa gunanya kearifan lokal kalau hanya dijadikan tameng retorika?
Kearifan lokal itu nyata, hukum itu perlu. Tapi hukum tanpa rasionalitas hanyalah kekerasan yang dilembagakan.
Maka, persoalannya bukan pada rakyat perbatasan yang berdagang ikan dengan Malaysia. Persoalannya ada pada negara yang tidak pernah serius memikirkan perbatasan.
Selama itu belum berubah, kapal-kapal ikan akan tetap jadi korban, rakyat tetap lapar, dan negara tetap absen di ujung republik.
Masyarakat Bukan Sekadar Angka Statistik
Masyarakat perbatasan bukan sekadar angka statistik dalam tabel pembangunan. Mereka adalah garda depan republik.
Menutup mata terhadap praktik kearifan lokal sama saja dengan mengabaikan denyut kehidupan di perbatasan.
Namun, membiarkan kearifan lokal tanpa kerangka hukum hanya akan memperpanjang ketidakpastian.
Di sinilah kita memerlukan apa yang disebut kebijaksanaan praktis. Negara perlu mencari jalan tengah, mengakui realitas sosial-ekonomi masyarakat perbatasan, tetapi sekaligus memberi kepastian hukum yang melindungi.
Bupati, DPRD, Dinas Kelautan, dan Gubernur Kaltara harus duduk dalam satu komitmen, melampaui sekadar rapat dengar pendapat, untuk memastikan rakyat perbatasan tidak lagi menjadi korban dari hukum yang berjalan pincang.
Karena pada akhirnya, hukum tanpa keadilan hanyalah kedok dari kekuasaan, sementara kearifan lokal tanpa legitimasi hanyalah kebiasaan yang mudah direpresi.