Opini: Febrianus Felis
MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Dua nyawa hilang di perairan depan Dermaga Haji Putri, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) seperti angin lalu bagi Mahasiswa dan Organisasi Kepemudaan.
Kecelakaan laut yang melibatkan dua speedboat itu bukan sekadar insiden. Ia adalah potret buram tata kelola transportasi laut, lemahnya pengawasan instansi yang berwenang, dan karut-marutnya aktivitas ilegal yang seakan dibiarkan tumbuh tanpa kontrol.
Tapi yang lebih menyakitkan dari tragedi itu adalah diamnya Mahasiswa dan Organisasi Kepemudaan.Tidak ada aksi. Tidak ada desakan. Tidak ada narasi kritis.
Padahal, selama ini Mahasiswa kerap mengklaim diri sebagai barisan moral masyarakat. Tapi kali ini, moral itu tak bersuara. Nurani itu tak hidup.
Ironisnya, kasus oknum Polisi yang ditangkap karena dugaan narkotika berhasil menggerakkan Mahasiswa dan Organisasi Pemuda turun ke jalan.
Namun ketika rakyat biasa jadi korban dari sistem yang rusak dan praktik speedboat ilegal, suara mereka nyaris tak terdengar. Apakah keberpihakan itu kini tergantung siapa objeknya?
Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan oleh gerakan Mahasiswa dan Pemuda hari ini? Rakyat, atau Relasi Kuasa?
Apakah Mahasiswa hanya bergerak ketika kepentingan elite terganggu? Apakah Organisasi Pemuda hanya bersuara ketika yang jadi korban adalah orang-orang yang dekat dengan lingkaran mereka?
Mirisnya, sebagian Organisasi Kepemudaan hari ini hidup dari dana hibah pemerintah daerah. Mereka lebih sibuk membuat proposal kegiatan seremonial, pelatihan yang tak berlanjut, diskusi yang tak substansial, asal ada dokumentasi untuk laporan dan bukti tanda tangan pencairan dana.
Mungkin saja mereka takut bersuara keras, karena tahu kritikan mereka bisa berujung pada hilangnya “jatah” anggaran tahun depan. Kritik menjadi transaksi. Moral menjadi negosiasi.
Akibatnya, banyak isu lokal di Nunukan yang seharusnya menjadi perhatian serius mulai dari kemiskinan, pengangguran, inflasi, korupsi, bobroknya kebijakan pemerintah, migrasi ilegal, perdagangan dan penyelundupan manusia, kerusakan lingkungan, hingga praktik bisnis ilegal yang merenggut nyawa semuanya terlewatkan.
Jangan sampai Mahasiswa dan Organisasi Pemuda di daerah hanya berani bicara soal Jakarta, tapi diam seribu bahasa soal Nunukan.
Kalau benar mereka berdiri di sisi rakyat, mestinya kasus kecelakaan speedboat ini menjadi alarm besar. Dua orang tewas dan salah satunya adalah seorang Mahasiswi alumni Politeknik Negeri Nunukan. Informasi kabur. Tak ada tanggung jawab dari instansi yang jelas. Tapi semua ini tak cukup menyentuh nurani gerakan yang katanya “progresif”.
Yang terlihat justru gerakan yang pilih-pilih isu. Ketika yang bersalah adalah rakyat kecil, suara bisa lantang. Tapi ketika yang disentuh berkaitan dengan mereka yang punya kuasa, semua mendadak bisu.
Nunukan hari ini tak butuh aktivis musiman. Tidak butuh mahasiswa yang hanya bersuara saat aman. Kita butuh keberanian moral yang tak pandang bulu. Keberanian yang tidak takut menyebut nama, meskipun yang terlibat ada di lingkaran elite lokal.
Jika mahasiswa dan pemuda terus diam dalam kasus ini, maka kelak publik akan mengingat: dua nyawa melayang, dan mereka yang mengaku sebagai suara rakyat memilih bungkam.