DPRD Nunukan Mediasi Polemik Pajak dan Lahan Adat Tidung: Sertifikat Tak Jelas, Warga Ditagih PBB

oleh

MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Komisi II DPRD Kabupaten Nunukan memediasi keluhan masyarakat Adat Tidung terkait tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama lima tahun atas lahan yang objek pajaknya tidak jelas. Aspirasi ini disampaikan warga Kelurahan Nunukan Barat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung di Gedung DPRD Nunukan, Selasa (24/6/2025).

Ketua Komisi II DPRD Nunukan, Andi Fajrul Syam, menyebutkan RDP ini menjadi forum penting untuk memperjelas status kepemilikan lahan dan keabsahan objek pajak yang selama ini membingungkan masyarakat.

“Kami ingin mencari titik terang agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terutama masyarakat adat sebagai penerima manfaat tanah,” ujarnya.

Tagihan Pajak Datang, Sertifikat Tak Pernah Tangan

Keluhan utama disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Majelis Adat Tidung, H. Syahdan. Ia mengaku heran mengapa masyarakat ditagih PBB padahal mereka tidak pernah melihat wujud sertifikat atau menerima hasil pengelolaan plasma dari perusahaan.

“Kami tidak pernah tahu tanah itu di mana, tidak pernah melihat sertifikat, dan tidak pernah menikmati hasilnya. Tiba-tiba ditagih pajak, ini tidak masuk akal,” ucap Syahdan.

Bapenda: Tagihan Berdasarkan Data Sertifikat

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Bapenda Nunukan, Fitraeni, menjelaskan bahwa tagihan PBB diterbitkan berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) yang mencatat ada 1.169 sertifikat tanah redistribusi.

Namun, hanya 690 objek pajak yang bisa diterbitkan SPPT karena telah memenuhi syarat data KTP dan alas hak. Ia menambahkan, sesuai Perbup pasal 58 ayat 4, pajak terutang berlaku lima tahun sejak terbitnya sertifikat.

DKPP: Itu Sertifikat Redistribusi, Bukan Plasma

Kepala DKPP Nunukan, Muhtar, menegaskan bahwa 1.169 sertifikat tersebut adalah tanah redistribusi, bukan lahan plasma seperti yang diyakini warga. Sertifikat itu, kata dia, masih dikuasai oleh manajemen lama PT Palem Segar Lestari (PSL) yang dipimpin oleh Yudianto, sebelum diambil alih oleh manajemen baru pada 2024.

Muhtar juga menyebut tidak ada sertifikat yang diagunkan ke bank karena sertifikat redistribusi tidak dapat dijadikan jaminan lantaran adanya stempel pajak terutang. Bahkan, ditemukan data ganda penerima sertifikat, ada yang memegang lebih dari satu, bahkan hingga sepuluh sertifikat atas nama yang sama.

PT PSL: Masih Fokus Tata Lahan Inti

Direktur PT PSL, Andik Arling, menjelaskan bahwa pihaknya masih dalam tahap penataan internal setelah mengakuisisi perusahaan dari manajemen lama. Ia meminta waktu untuk membenahi struktur pengelolaan sebelum menjalin kemitraan secara penuh dengan koperasi plasma.

“Kami baru take over tahun 2024. Fokus kami masih pada pembenahan lahan inti. Setelah itu, baru kami duduk bersama koperasi plasma untuk membicarakan hak dan kewajiban,” jelas Andik.

DPRD Sampaikan Empat Rekomendasi Solusi

Dalam RDP yang berlangsung cukup alot, Ketua Komisi II DPRD Nunukan menyampaikan empat kesimpulan penting:

1. PT PSL berkomitmen menyelesaikan tunggakan PBB dan BPHTB lahan plasma melalui Bapenda Nunukan.

2. DPRD memfasilitasi mediasi antara manajemen lama dan baru PT PSL dengan pemilik SHM, bersama lembaga adat dan instansi terkait, untuk menyelesaikan polemik sertifikat redistribusi.

3. PT PSL dan Koperasi Plasma Tanjung Harapan akan membahas MoU mengenai pengelolaan dan distribusi hasil lahan plasma.

4. Validasi sertifikat atas lahan redistribusi seluas 2.162,1 hektare akan dilakukan dengan target penyelesaian sebelum Juli 2025.

Desakan dari Lurah dan DPRD

Lurah Nunukan Barat, Julziansyah, mempertanyakan inkonsistensi perlakuan antara wilayahnya dan Nunukan Selatan yang sama-sama masuk dalam SK Bupati No. 138.45/859/IX/2013 tentang program kemitraan PT PSL.

“Kenapa Nunukan Selatan bisa jadi plasma, sementara kami tidak? Padahal dasar hukumnya sama,” tanyanya dalam forum.

Rapat turut dihadiri Wakil Ketua DPRD Hj. Andi Mariyati, anggota Komisi I dan II, serta perwakilan dari lembaga adat, LSM PUSAKA, dan perangkat daerah lainnya.

DPRD menegaskan komitmennya untuk terus mengawal penyelesaian persoalan ini agar seluruh pihak, khususnya masyarakat adat dan petani plasma, mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak-haknya.

“Kita ingin keadilan bagi masyarakat. Tidak boleh ada pihak yang menanggung beban atas hal yang tidak pernah mereka nikmati,” tegas Andi Fajrul Syam.

(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *