Penulis: Fidelis | Editor: Castro
MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Kabupaten Nunukan menghadapi situasi darurat yang mengkhawatirkan anak-anak tak lagi merasa aman bahkan di lingkungan terdekat mereka sendiri.
Dalam tiga tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terus terjadi bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga seksual dan psikologis.
Yang mengejutkan, sebagian besar pelaku adalah orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung utama kakek, paman, bahkan orang tua kandung.
“Sebagian besar korban masih sangat kecil, antara usia 3 hingga 3,5 tahun. Mereka belum mengerti apa-apa, belum bisa melindungi diri. Tapi justru menjadi korban dari orang-orang terdekat,” kata Bripda Eka Kumalasari, anggota Unit PPA Reskrim Polres Nunukan.
Tren Meningkat Tapi Kesadaran Masih Rendah
Data kepolisian menunjukkan bahwa sepanjang 2023 ada 31 kasus kekerasan, meningkat menjadi 47 kasus pada 2024, dan hingga Oktober 2025, sudah ada 34 kasus tercatat.
Angka ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi telah dibuat, implementasinya belum maksimal.
Dalam Sosialisasi Perda No. 17 Tahun 2025 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, Sekretaris Komisi I DPRD Nunukan, Muhammad Mansur, menyatakan bahwa era teknologi telah menambah kompleksitas ancaman terhadap anak-anak.
“Kita harus sadar bahwa kekerasan kini tidak hanya terjadi secara fisik. Teknologi bisa menjadi alat baru eksploitasi jika orang tua lengah,” ujar Mansur Kepada MataKaltara.com, Jumat (10/10/2025), siang.
Perda Sudah Ada Tapi Butuh Aksi Nyata
DPRD Nunukan mendesak Satpol PP dan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) untuk memperketat pengawasan di area rawan seperti tempat hiburan malam, yang kerap menjadi sarang eksploitasi anak dan perempuan.
“Kami ingin Perda ini tidak hanya jadi dokumen. Harus ditegakkan di lapangan. Butuh sinergi semua pihak, termasuk masyarakat,” lanjut Mansur.
Kekerasan Tak Pandang Jenis Kelamin
Bripda Eka juga mengingatkan bahwa korban kekerasan seksual tak hanya anak perempuan. Anak laki-laki pun menjadi korban sodomi, dan jumlahnya tidak sedikit.
Ini menunjukkan bahwa semua anak rentan. Perlindungan harus menyeluruh dan tanpa diskriminasi.
Lebih parah lagi, ada laporan kekerasan bahkan terjadi sejak anak masih dalam kandungan, ketika seorang ibu menyakiti janinnya sendiri. Fakta-fakta ini menampar kesadaran publik kekerasan bisa terjadi di mana saja, bahkan di rahim yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
Saatnya Semua Terlibat
DPRD, aparat hukum, dan masyarakat harus saling mendukung. Namun, kunci utama ada di tangan keluarga.
“Orang tua adalah benteng pertama dan utama. Mereka harus lebih aktif mendampingi, mendidik, dan melindungi,” tutup Mansur.