DPRD Nunukan Desak Tinjau Ulang Aturan Keimigrasian: Pemilik Kapal Dijadikan Kambing Hitam!

oleh

MATAKALTARA.COM, NUNUKAN – Denda sebesar Rp1.650.000.000 miliar yang dijatuhkan kepada pemilik kapal rute Nunukan-Tawau memicu gelombang protes dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara).

Denda itu dikenakan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pelanggaran keimigrasian oleh 33 penumpang kapal yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) asal Malaysia dan Filipina.

Masalahnya, para penumpang tersebut diketahui memiliki paspor dengan masa berlaku kurang dari 6 bulan. Sehingga pemilik kapal didenda dengan nominal denda sebesar Rp50 juta per penumpang.

Menurut Anggota DPRD Nunukan, Saddam Husein, sanksi ini bukan hanya tidak adil, tapi juga menunjukkan bahwa negara seolah-olah sedang “memeras rakyatnya sendiri”.

“Saya melihat situasi ini seolah-olah negara kita benar-benar sudah bangkrut, sehingga rakyat sendiri juga diperas. Mencari celah melalui undang-undang untuk memeras rakyat,” kata Saddam Husein, Sabtu (21/06/2025), siang.

Saddam menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian memang menyebutkan bahwa penanggung jawab alat angkut wajib memulangkan WNA yang melanggar aturan keimigrasian ke pelabuhan asal pada hari yang sama.

Namun yang menjadi pertanyaan, kata Saddam, mengapa petugas Imigrasi Nunukan malah membubuhkan cop masuk pada paspor penumpang WNA yang masa berlaku paspornya kurang dari 6 bulan.

“Ini bukan semata kesalahan pemilik kapal. Imigrasi juga harus bertanggung jawab. Karena yang punya kewenangan memeriksa dokumen penumpang adalah Imigrasi, bukan pemilik kapal. Ini malah pemilik kapal dijadikan ‘kambing hitam’!. Harusnya pulangkan aja penumpang WNA itu dengan menggunakan kapal yang ditumpangi sebelumnya,” ucapnya.

Saddam bahkan menyinggung pengalamannya sendiri saat pernah ditolak masuk ke Tawau, Malaysia.

“Saya pernah diblacklist masuk ke Tawau. Begitu tiba di pelabuhan, saya ditahan dan langsung dipulangkan ke Nunukan pada hari yang sama. Itu yang seharusnya dilakukan juga oleh Imigrasi kita. Jangan sampai masyarakat dirugikan baru aturannya disosialisasikan,” ujarnya.

Lebih lanjut Saddam menuding bahwa Imigrasi Nunukan telah melakukan pembiaran, sebab selama ini tidak pernah melakukan sosialisasi secara detail kepada pemilik kapal mengenai aturan paspor penumpang WNA.

“Undang-undang keimigrasian sudah ada sejak 2011, kenapa temuan itu baru muncul 2024 dan 2025. Berarti selama ini Imigrasi Nunukan melakukan pembiaran,” tambahnya.

Ia juga mempertanyakan kesiapan sistem informasi yang seharusnya menghubungkan pemilik kapal dengan Imigrasi secara langsung.

“Pasal 18 ayat (2) mengatur soal sistem informasi pemrosesan data penumpang. Apakah Imigrasi Nunukan punya sistem itu? Jangan-jangan tidak ada. Tapi pemilik kapal yang ‘kena getahnya’,” tuturnya.

Saddam menegaskan bahwa pemilik kapal hanya bertugas mengangkut penumpang, bukan memeriksa dokumen penumpang yang seharusnya menjadi tugas Imigrasi.

Ia menyebut bahwa penumpang WNA tersebut bahkan mendapat izin keluar dari Malaysia melalui stempel resmi Imigresen, sehingga secara hukum, mereka dianggap legal.

Namun begitu tiba di Nunukan, justru pemilik kapal yang disanksi karena dianggap memuat penumpang WNA dengan masa berlaku paspor kurang dari 6 bulan.

“Aturan Imigresen Tawau, masa berlaku paspor kurang dari 6 bulan tidak masalah. Yang tidak boleh paspor kurang dari 3 bulan. Itu bedanya dengan Imigrasi kita,” ungkapnya.

Lebih jauh, Saddam juga menyoroti perlakuan diskriminatif Imigrasi Nunukan terhadap warga perbatasan Nunukan yang hendak bepergian ke Malaysia.

Ia menyebut, banyak warga harus membuat dokumen Akuan Berkanun dan ditanyai secara berlebihan.

Akuan Berkanun di Malaysia adalah sebuah dokumen yang sering digunakan untuk berbagai keperluan seperti pendaftaran pernikahan, pernyataan kewarganegaraan, atau klaim lainnya yang memerlukan pernyataan resmi di bawah sumpah

“Kami ini diperlakukan seperti pendatang. Kalau ke Malaysia mesti bikin surat Akuan Berkanun. Seolah-olah kalau orang Nunukan ke Malaysia pasti mau jadi TKI. Padahal tidak begitu. Dan kalaupun iya, kenapa harus dianggap rendah? Mereka itu pahlawan devisa negara,” imbuhnya.

Saddam menambahkan, pergerakan kapal dari dan ke Tawau adalah denyut utama ekonomi Nunukan. Jika aturan terlalu mengekang, maka perputaran ekonomi di wilayah perbatasan bisa lumpuh total.

“Nunukan ini hidup dari jasa dan perlintasan. Kalau semua dibatasi tanpa pemahaman kondisi sosial di sini, apa yang mau dinikmati rakyat? Ini wilayah perbatasan, bukan metropolitan,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Nunukan lainnya, Andi Mulyono, menyampaikan bahwa DPRD telah mengambil sikap tegas dalam rapat dengar pendapat yang menghadirkan pihak Imigrasi, pemilik kapal, dan instansi vertikal terkait lainnya.

“Kami tidak sepakat jika pemilik kapal harus menanggung denda Rp1,65 miliar. Itu bukan tanggung jawab mereka. Rapat sudah menghasilkan rekomendasi agar aturan itu dikaji ulang dan sanksi denda dibatalkan,” pungkas Andi Mulyono.

DPRD Nunukan mendesak pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk meninjau ulang penerapan Pasal 19 Undang-undang Keimigrasian.

Pasal tersebut mewajibkan penanggung jawab alat angkut untuk memeriksa dokumen perjalanan dan visa penumpang, kewajiban yang menurut mereka seharusnya dilakukan oleh aparat imigrasi, bukan pihak swasta penyedia jasa transportasi.

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *